Angkatan Balai Pustaka
(1920—1933)
Balai
Pustaka didirikan pada tahun 1908, tetapi baru tahun 1920-an kegiatannya
dikenal banyak pembaca (Purwoko, 2004: 143). Berawal ketika pemerintah Belanda
mendapat kekuasaan dari Raja untuk mempergunakan uang sebesar F.25.000 setiap
tahun guna keperluan sekolah bumi putera yang ternyata justru meningkatkan
pendidikan masyarakat. Commissie voor de Inlandsche School-en Volkslectuur,
yang dalam perkembangannya berganti nama Balai Poestaka, didirikan dengan
tujuan utama menyediakan bahan bacaan yang “tepat” bagi penduduk pribumi yang
menamatkan sekolah dengan sistem pendidikan Barat.
Sebagai
pusat produksi karya sastra, Balai Poestaka mempunyai beberapa strategi
signifikan (Purwoko, 2014: 147), yaitu
1. Merekrut dewan redaksi
secara selektif
2. Membentuk jaringan distribusi
buku secara sistematis
3. Menentukan kriteria
literer
4. Mendominasi dunia kritik
sastra
Pada
masa ini bahasa Melayu Riau dipandang sebagai bahasa Melayu standar yang yang
lebih baik dari dialek-dialek Melayu lain seperti Betawi, Jawa, atau Sumatera.
Oleh karena itu, para lulusan sekolah asal Minangkabau, yang diperkirakan lebih
mampu mempelajari bahasa Melayu Riau, dipilih sebagai dewan redaksi. Beberapa
diantaranya adalah Armjin Pene dan Alisjahbana. Angkatan Balai Poestaka baru
mengeluarkan novel pertamanya yang berjudul Azab
dan Sengsara karya Merari Siregar pada tahun 1920-an. Novel yang
mengangkat fenomena kawin paksa pada masa itu menjadi tren baru bagi dunia
sastra. Novel-novel lain dengan tema serupa pun mulai bermunculan. Adapun
ciri-ciri karya sastra pada masa Balai Poestaka, yaitu
1.
Gaya Bahasa : Ungkapan klise pepatah/pribahasa.
2.
Alur : Alur Lurus.
3.
Tokoh : Plot karakter ( digambarkan langsung oleh narator ).
4.
Pusat Pengisahan : Terletak pada orang ketiga dan orang pertama.
5.
Terdapat digresi : Penyelipan/sisipan yang tidak terlalu penting,
yang dapat menganggu kelancaran teks.
6.
Corak : Romantis sentimental.
7.
Sifat : Didaktis (pendidikan)
8.
Latar belakang sosial : Pertentangan paham antara kaum muda dengan
kaum tua.
9.
Peristiwa yang diceritakan saesuai dengan realitas kehidupan
masyarakat.
10. Puisinya berbentuk syair
dan pantun.
11. Menggambarkan tema
pertentangan paham antara kaum tua dan kaum muda, soal pertentangan adat, soal
kawin paksa, permaduan, dll.
12. Soal kebangsaan belum
mengemuka, masih bersifat kedaerahan.
Angkatan Pujangga Baru
(1933—1942)
Pada
tahun1933, Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Sultan Takdir Alisjahbana mendirikan
sebuah majalah yang diberi nama Poejangga
Baroe. Majalah Poedjangga
Baroe menjadi wadah khususnya bagi seniman atau pujangga yang ingin
mewujudkan keahlian dalam berseni. Poedjangga
Baroe merujuk pada nama sebuah institusi literer yang berorientasi
ke aneka kegiatan yang dilakukan para penulis pemula. Majalah ini diharapkan
berperan sebagai sarana untuk mengoordinasi para penulis yang hasil karyanya
tidak bisa diterbitkan Balai Poestaka (Purwoko, 2004: 154).
Selain
memublikasikan karya sastra, majalah ini juga merintis sebuah rubrik untuk
memuat esai kebudayaan yang diilhami oleh Alisjahbana dan Armijn Pane.
Kelahiran majalah Poedjangga
Baroe menjadi titik tolak kebangkitan kesusastraan Indonesia. S.T.
Alisjahbana, dalam artikel Menudju
Masjarakat dan Kebudajaan Baru, menjelaskan bahwa sastra Indonesia
sebelum abad 20 dan sesudahnya memiliki perbedaan yang didasari pada semangat
keindonesiaan dan keinginan yang besar akan perubahan.
Adapun
karakteristik karya sastra pada masa itu terlihat melalui roman-romannya yang
sangat produktif dan diterima secara luas oleh masyarakat. Pengarang yang
paling produktif yaitu Hamka dan Alisjahbana. Hamka, dalam Mengarang Roman,
mengatakan Roman adalah bentuk modern dari hikayat. Roman memperhalus bahasa
yang sebelumnya sangat karut marut menyerupai kalimat Tionghoa sehingga secara
tidak langsung roman-roman yang ada mampu memicu minat baca masyarakat yang
awalnya tidak gemar membaca.
Berdasarkan
isi cerita, tema-tema yang ada memperlihatkan kecenderungan para pengarang yang
membuat tokoh-tokoh dalam ceritanya berakhir pada kematian. Pengaruh Barat yang
sangat kental pada perkembangan sastra Indonesia dalam periode Pujangga Baru
menghasilkan beberapa perbedaan pandangan dalam kalangan sastrawan pada saat
itu.Sebagai contoh, novel
pertama yang diterbitkan majalah ini, Belenggu, pernah ditolak oleh Balai
Pustaka karena dianggap mengandung isu tentang nasionalisme dan perkawinan yang
retak. Dengan alasan didaktis, kedua isu budaya tersebut dianggap tidak cocok
dengan kebijakan pemerintah kolonial.
Angkatan ’45
Munculnya Chairil Anwar dalam panggung sejarah sastra Indonesia
dengan menampilkan sajak-sajak yang bernilai tinggi memberikan sesuatu yang
baru bagi dunia sastra tanah air. Bahasa yang dipergunakannya adalah bahasa
Indonesia yang berjiwa. Bukan lagi bahasa buku, melainkan bahasa percakapan
sehari-hari yang dibuatnya bernilai sastra (Rosidi, 1965: 91). Dengan munculnya
kenyataan itu, maka banyaklah orang yang berpendapat bahwa suatu angkatan
kesusateraan baru telah lahir. Angkatan ini memiliki beberapa sebutan, yaitu
Angkatan ’45, Angkatan Kemerdekaan, Angkatan Chairil Anwar, Angkatan Perang,
Angkatan Sesudah Perang, Angkatan Sesudah Pujangga Baru, Angkatan Pembebasan,
dan Generasi Gelanggang.
Angkatan ’45 adalah angkatan yang muncul setelah berakhirnya
Angkatan Pujangga Baru. Angkatan ini terbentuk karena Angkatan Pujangga Baru
dianggap gagal menjalankan gagasannya. Pujangga Baru yang
semula memiliki gagasan baratisasi sastra Indonesia, nyatanya hanya mentok pada
belandanisasi. Dengan kata lain, tokoh-tokoh atau karya-karya seni dan sastra
yang diambil sebagai acuan dan sumber inspirasi hanya berasal dari negeri
Belanda saja, bukan dari penjuru Barat. Untuk meluruskan persepsi tersebut,
muncullah Angkatan ’45 sebagai gantinya.
Keberadaan
angkatan ini erat hubungannya dengan Surat Kepercayaan Gelanggang. Konsep
humanisme universal menjadi acuan Perkumpulan Gelanggang karena mereka merasa
karya-karya yang dibuat oleh Angkatan Pujangga Baru kurang realistis pada masa
itu. Angkatan Pujangga Baru yang beraliran romatis dinilai terlalu utopis dan
hanya mementingkan estetika. Berbeda dengan Angkatan Pujangga Baru, Angkatan
’45 beraliran ekspresionisme-realistik. Karya-karya yang dihasilkan bergaya
ekspresif, menggambarkan identitas si seniman dan juga realistis. Dalam hal
ini, realistis berarti fungsional atau berguna untuk masyarakat. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa Angkatan ’45 menganut pendapat seni untuk
masyarakat, sementara Pujangga Baru menganut pendapat seni untuk seni.
Tema
yang banyak diangkat dalam karya-karya seni Angkatan ’45 adalah tema tentang
perjuangan kemerdekaan. Dari karya-karya bertemakan perjuangan itulah amanat
yang menyatakan bahwa perjuangan mencapai kemerdekaan tak hanya dapat dilakukan
melalui politik atau angkat senjata, tetapi perjuangan juga dapat dilakukan
melalui karya-karya seni. Angkatan ’45 mulai melemah ketika sang pelopor,
Chairil Anwar, meninggal dunia. Selain itu, Asrul Sani, yang juga merupakan
salah satu pelopor mulai menyibukkan diri membuat skenario film. Kehilangan
akan kedua orang tersebut membuat Angkatan ’45 seolah kehilangan kemudinya.
Akhirnya, masa Angkatan ’45 berakhir dan digantikan dengan Angkatan’50.
Angkatan
’45 memiliki gaya yang berbeda dengan Angkatan Pujangga Baru. Gaya ini
dipengaruhi oleh kondisi politik masing-masing angkatan. Angkatan Pujangga Baru
memiliki gaya romantis-idealis karena pada saat itu perjuangan kemerdekaan
belum sekeras yang dialami Angkatan ’45. Sementara Angkatan ’45 yang terbentuk
pada saat gencarnya perjuangan kemerdekaan memilih gaya
ekspresionisme-realistik agar dapat berguna dan diterima oleh masyarakat. Pada
akhirnya, semua angkatan yang ada sepantasnya menyadari fungsi sosial mereka.
Setiap angkatan harus memikirkan letak kebermanfaatan mereka bagi masyarakat
karena mereka hidup dan tumbuh di dalam masyarakat.
Angkatan 1950
Angkatan
ini dikenal krisis sastra Indonesia. Sejak Chairil Anwar meninggal, lingkungan
kebudayaan “Gelanggang Seniman Merdeka” seolah-olah kehilangan vitalitas. Salah
satu alasan utama terhadap tuduhan krisis sastra tersebut adalah karena
kurangnya jumlah buku yang terbit. Sejak tahun 1953 , Balai Pustaka yang sejak
dulu bertindak sebagai penerbit utama buku-buku sastra, kedudukannya sudah tidak
menentu (Rosidi, 1965: 137). Sejak saat itu aktivitas sastra hanya dalam
majalah-majalah, seperti Gelanggang/Siasat,
Mimbar Indonesia, Zenith, Poedjangga Baroe, dll.
Karena
sifat majalah, maka karangan-karangan yang mendapat tempat terutama yang berupa
sajak, cerpen, dan karangan-karangan lain yang tidak begitu panjang. Sesuai
dengan yang dibutuhkan oleh majalah-majalah, maka tak anehlah kalau para
pengarangpun lantas hanya mengarang cerpen, sajak, dan karangan lain yang
pendek-pendek (Rosidi, 1965: 138). Hal itulah yang memunculkan istilah “sastra
majalah” pada masa itu.
1.
Kesusastraan sedang memasuki masa krisis, masalah kualitas dan
kuantitas.
2.
Ekspansi ideologi ke dalam dunia seni mengakibatkan banyak orang
meninggalkan nilai-nilai seni yang wajar, dan ideologi politik kian menguat.
3.
Seni dan politik adalah pencampuradukan yang lahir dari kondisi
masa itu.
4.
Pada masa itu pula telah lahir organisasi-organisasi kegiatan
kesenian yang mengarahkan kegiatanya pada seni sastra dan seni drama.
5.
Hal ini mengindikasikan seni mendapat perhatian.
6.
Kesusastraan berhubungan erat dengan adanya tempat berkegiatan,
Jakarta di angggap sebagai pusatnya. Anggapan ini diluruskan, Jakarta hanya sebagai
pusat produksi dan publikasi
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa angkatan 1950 merupakan angkatan yang sepi
oleh karya karena sastra Indonesia yang ada dianggap sudah tidak lagi memiliki
identitas, kesusasteraan mengalami krisis baik kualitas maupun kuantitas karena
lahirnya pesimisme dan penggunaan seni ke ranah politik yang tidak dibarengi
dengan tanggung jawab.
Angkatan 1966
Adalah
suatu kenyataan sejarah bahwa sejak awal pertumbuhannya sastrawan-sastrawan
Indonesia menunjukkan perhatian yang serius kepada politik (Rosidi, 1965: 177).
Pada masa ini sastra sangat dipengaruhi oleh lembaga kebudayaan seperti Lekra
dan Manikebu. Pada tahun 1961 Lekra,organ PKI yang memperjuangkan komunisme,
dinyatakan sebagai organisasi kebudayaan yang memperjuangkan slogan “politik
adalah panglima”. Sementara Menifes Kebudayaan merupakan sebuah konsep atau
pemikiran di bidang kebudayaan dan merupakan sebuah reaksi terhadap teror
budaya yang pada waktu itu dilancarkan oleh orang-orang Lekra. Manifes
kebudayaan di tuduh anti-Manipol dan kontra Revolusioner sehingga harus
dihapuskan dari muka bumi Indonesia. Pelarangan Manifes Kebudayaan diikuti tindakan
politis yang makin memojokkan orang-orang Manifes Kebudayaan, yaitu pelarangan
buku karya pengarang-pengarang yang berada di barisan. Adapun buku-buku yang
pernah dilarang, antara lain Pramudya Ananta Toer, Percikan Revolusi, Keluarga Gerirya, Bukan pasar Malam
,Panggil Aku Kartini Saja , Korupsi dll; Utuy T. Sontani, Suling, Bunga Rumah
makan,Orang-orang Sial, Si Kabayan dll; Bakri Siregar, Ceramah Sastra, Jejak Langkah ,
Sejarah Kesusastraan Indonesia Modern.
Menurut H. B. Jassin,
ciri-ciri karya pada masa ini adalah sebagai berikut
1.
Mempunyai konsepsi Pancasila
2.
Menggemakan protes sosial dan politik
3.
Membawa kesadaran nurani manusia
4.
Mempunyai kesadaran akan moral dan agama
Angkatan 70-an sampai
sekarang
Pada
masa ini karya sastra berperan untuk membentuk pemikiran tentang keindonesiaan
setelah mengalami kombinasi dengan pemikiran lain, seperti budaya. Ide,
filsafat, dan gebrakan-gebrakan baru muncul di era ini, beberapa karya keluar
dari paten dengan memperbincangkan agama dan mulai bermunculan kubu-kubu sastra
populer dan sastra majalah. Pada masa ini pula karya yang bersifat absurd mulai
tampak.
Di
tahun 1980—1990-an banyak penulis Indonesia yang berbakat, tetapi sayang karena
mereka dilihat dari kacamata ideologi suatu penerbit. Salah satu penerbit yang
terkenal sampai sekarang adalah Gramedia. Gramedia merupakan penerbit yang
memperhatikan sastra dan membuka ruang untuk semua jenis sastra sehingga
penulis Indonesia senantiasa memiliki kreativitas dengan belajar dari berbagai
paten karya, baik itu karya populer, kedaerahan, maupun karya urban.
Sementara
setelah masa reformasi, yaitu tahun 2000-an, kondisi sastra tanah air dapat
digambarkan sebagai berikut2
1.
Kritik Rezim Orde Baru
2.
Wacana Urban dan Adsurditas
3.
Kritik Pemerintah terus berjalan
4.
Sastra masuk melalui majalah selain majalah sastra.
5.
Sastra bersanding dengan Seni Lainnya, banyak terjadi alih wahana
pada jaman sekarang
6.
Karya yang dilarang terbit pada masa 70-an diterbitkan di tahun
2000-an, banyak karya Pram yang diterbitkan, karya Hersri Setiawan, Remy
Sylado, dsb.
Seperti
seorang anak, Sastra mengalami masa pertumbuhan. Masa pertumbuhan sastra tidak
akan dewasa hingga jaman mengurungnya. Sastra akan terus menilai jaman melalui
pemikiran dan karya sastrawannya. Pada tahun 1970-an, sastra memiliki karakter
yang keluar dari paten normatif. Pada tahun 1980-an hingga awal 1990-an, sastra
memiliki karakter yang diimbangi dengan arus budaya populer. Pada tahun 2000-an
hingga saat ini, sastra kembali memiliki keragaman kahzanah dari yang populer,
kritik, reflektif, dan masuk ke ranah erotika dan absurditas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar